Friday, December 3, 2010
booster!
Tuesday, August 31, 2010
semarak 10 akhir ramadan
Thursday, July 22, 2010
ALLAH ITU DEKAT
dakwatuna.com – “Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)
Ayat ini meskipun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah: 187), namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf. Karena setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan satu kesatuan (wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antar satu ayat dengan yang lainnya, baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti kemu’jizatan Al-Qur’an.
Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis, kedekatan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motifasi terbesar yang memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan totalitas.
Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat dilihat dari empat hal berikut ini: Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’adalam arti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti yang diisyaratkan oleh ayat ini. Karenanya Rasulullah saw sendiri menjamin dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Kondusifitas ruhiyah seorang hamba di bulan Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah yang juga berarti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan tersebut. Dalam kitab Al-Ma’arif As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan keskhusyuan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang terbaik hadir bersama dengan keta’atan dan kepatuhannya dengan perintah Allah swt.
Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, kapanpun dan dimanapun mereka berada. Namun kedekatan Allah dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan indikasi yang menonjol bahwa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih intens dengan berbagai amal keshalihan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat lagi dengan Rabbnya. Padahal dalam sebuah hadits qudsi Allah memberikan jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”. (Muttafaqun Alaih)
Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal shalih yang mereka lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu dengan ‘jaminan amal shalih yang mereka lakukan’. Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt. Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup doa yang sedikit jika dibarengi dengan kebaikan dan keta’atan seperti halnya garam yang sedikit cukup untuk kelezatan makanan”.
Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti ‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya menghampakan harapan Tuhan mereka. Karenanya rangkaian ayat-ayat puasa diawali dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”. Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu besar harapannya agar senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini, menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.
Demikian pembacaan terhadap satu ayat yang disisipkan dalam rangkaian ayat-ayat puasa. Tentu tidak semata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa. Namun lebih dari itu, terdapat korelasi dan hikmah yang patut diungkap untuk memperkaya pemaknaan terhadap Ramadhan yang terus akan mendatangi kita setiap tahun. Karena pemaknaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat puasa akan turut mewarnai aktifitas Ramadhan kita yang berdampak pada peningkatan kualitas keimanan kita dari tahun ke tahun. Saatnya momentum special kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya di bulan Ramadhan dioptimalisasikan dengan doa yang diiringi dengan amal shalih dan keta’atan kepadaNya.
Thursday, July 15, 2010
عبد ذاهب عن نفسه
عبد ذاهب عن نفسه
متصل بذكر ربه
قائم بأداء حقه
ناظر في قلبه
وإن تكلم فبالله
وإن نطق فعن الله
وإن تحرك فبأمر الله
وإن سكن فمع الله
فهو بالله لله مع الله
Friday, July 2, 2010
Doktor Dakwah
Mencari Doktor Dakwah yg hakiki
Posted on 23 November 2008 by Ustaz Halim
Bertemu doktor-doktor perubatan mithali sepanjang di Jalan Dakwah ini banyak memberi semangat juang kepada saya. Ada professor patologi yang saya berbicara dengannya tentang Dakwah dan isu umat ini hingga jam 4 pagi tanpa dia merasa jemu. Tak mengapa kerana masa tersebut adalah untuk Dakwah, katanya bila saya meminta maaf kerana ziarah yang panjang. Ada doktor yang sepenuh masa menyelia gudang Bantuan Kemanusiaan (Human Relief) di celah-celah timbunan guni dan kotak dengan penuh tekun, kini dia dipersada yang sama di arena antarabangsa. Ada doktor perunding urologi yang menjadi salah seorang guru dan penunjuk utama saya dalam Dakwah ini. Ini belum lagi doktor-doktor yang tidak pernah saya temui tetapi kisah perjuangan Dr Abdul Aziz Al-Rantisi, Dr Ahmad Al-Malt dll yang mencurah seluruh jiwa raga, masa, harta dan nyawa untuk Dakwah ini sehingga mereka menghembuskan nafas terakhir meredhai dan diredhai Allah swt saya tatapi dengan penuh tekun dan membara. Sungguh ruh Dakwah ini mampu mencipta banyak keajaiban yang tak dapat digambarkan oleh manusia yang lalai.
Seperti posting lalu, pendakwah hakiki ialah mereka yang berjaya melaksanakan fardhu ain dalam menyeru manusia kembali kepada Allah swt. Mujaddid pula adalah orang yang menghidupkan aspek Islam yang sangat diperlukan pada ketika itu seperti Khalifah Umar Abd Aziz (99H) dalam membaiki kehidupan khalifah dizaman banyak aduan tentang gaya hidup khlifah-khalifah sebelum beliau dan Imam Syafie (199H) dalam mengasaskan Usul Fiqh dizaman Islam berkembang ke pelusuk dunia dan sangat memerlukan panduan dan asas dalam mengeluarkan hukum hakam baru. Oleh itu Doktor Dakwah yang hakiki pada zaman umat Islam jahil dan ditindas hari ini adalah doktor yang berperanan seterusnya memimpin perubahan dalam jiwa masyarakat sehingga melayakkan mereka kembali bangkit membimbing dan memimpin orang ramai kepada keagungan Islam, berdepan dengan musuh-musuhnya diseluruh dunia. Seorang doktor boleh memainkan peranan tersebut kerana :
- Mudah menasihat dan mendidik masyarakat disebabkan kedudukannya yang dihormati.
- Memberi identiti yang cantik kepada badan dan organisasi yang disertainya, apatah lagi yang dipimpinnya.
- Boleh memberi sumbangan fikiran, terutama setelah melalui pengalaman luas dan bacaan yang banyak kerana mereka memiliki kecerdikan yang tinggi.
- Memelihara kesihatan umat dan ini penting untuk mereka berperanan memajukan agama dan negara disamping berjihad dan berdakwah kepada umat yang lain.
- Berdepan dengan dakyah sesat yang lain yang banyak masuk melalui khidmat kesihatan dan kebajikan.
Setelah melalui sedikit pengalaman dan membuat pengamatan, beberapa perkara perlu disedari agar kita memiliki seramai mungkin Doktor Dakwah yang hakiki, dengan mereka dapat membantu membangkitkan kembali umat ini dari lena lalu membawa mereka kearah keagungan global. Diantaranya :
- Seperti karier-karier lain yang berbagai, karier sebagai doktor adalah fardhu kifayah dan sekali-kali janganlah karier itu melupakan tuannya terhadap fardhu ain iaitu Dakwah di Jalan Allah.
- Tempoh sebagai mahasiswa adalah kritikal dalam melahirkan Pendakwah yang hakiki. Hanya mahasiswa yang berjaya dididik meletakkan Dakwah lebih utama dari segalanya yang mampu menjadi Pendakwah yang hakiki dihari tua. Sebaliknya bebanan pelajaran mahasiswa perubatan adalah besar, menjadikan usaha menanam hakikat diatas seringkali sukar. Kebiasaannya, seorang yang lebih mementingkan pelajarannya dizaman mahasiswa akan lebih mementingkan kariernya dizaman bekerja. Sebaiknya dia tekun dan hebat di dalam Dakwah sambil cemerlang di dalam pelajaran.
- Kerjaya sebagai seorang doktor juga berat dan menyibukkan. Kerjaya lain banyak beinteraksi dengan dokumen dan angka di paparan yang mudah dikendali masa dan keadaannya, sedang doktor mesti berinteraksi secara langsung dengan orang ramai yang seringkali tidak mengira masa, keadaan dan tempat. Ini ditambahan lagi dengan tawaran habuan wang ringgit yang tinggi menjadikan usaha menanam ke dalam jiwa akan hakikat Dakwah sebagai fardhu ain dan lebih utama dari segalanya seringkali tercabar. Pengalaman dan kejadian banyak terbentang di depan mata hingga ke hari ini. Kata ahli Dakwah bermaksud, “Agama ini tidak akan memberi sebahagian kemajuannya kepada kita, melainkan setelah kita memberisegala apa yang ada kepada kita untuknya berupa tenaga, masa, wang ringgit, jiwa dan raga”.
- Setinggi mana pangkat, seluas dan sebesar mana tanggungjawab terhadap kesihatan orang ramai, seorang doktor wanita tidak boleh mengabaikan tugas asasi mendidik anak-anaknya hingga berjaya menjadi Pendakwah yang hakiki. Mendidik anak memerlukan fokus, masa, perancangan dan kesabaran. Jangan sekali-kali karier tinggi melangit tetapi tugas Dakwah entah kemana, anak-anak terbiar keIslamannya lagi menyedihkan, fardhu kifayah dikejar, fardhu ain diabaikan.
hakikatnya, hidup di dunia ini hanyalah persinggahan untuk mencari bekalan..maka, gunakanlah setiap peluang yang diberi untuk mencedok bekalan akhirat..ya Allah, thabatkan hati-hati kami.
Friday, June 11, 2010
::dari AbuSaif untuk mata dan hati anda::
Normalisasi Muqaddimah Zina
“Susah, ustaz. Macam mana nak solat dalam kapal terbang kalau pakaian kotor” kata seorang anak muda.
“Nak berangkat ke UK pun pakai baju kotor? Tak sempat basuh ke?” tanya si ustaz.
“Bukan macam itu. Pakaian yang dipakai sudah tentu bersih. Tetapi semasa ke tandas di KLIA, di situlah pakaian jadi kotor” jelas beliau.
“Mengapa? Ustaz ke tandas tiada masalah pun” si ustaz ‘pura-pura tidak tahu’.
“Ustaz lainlah” ujar anak muda itu lagi.
“Apa pula lainnya. Awak lelaki, ustaz lelaki. Masuk pun ke tandas yang sama. Cuma, awak kencing berdiri ya?” si ustaz bertanya terus ke topik sebenar.
Anak muda itu ketawa kecil. Apa yang beliau tidak mahu menyebut, telah disebut oleh sang ustaz.
Memang sukar.
Jika bersolat di dalam pesawat terganggu oleh kesukaran menentukan arah kiblat, ada penyelesaiannya. Andaikata bermasalah untuk berdiri, ada penyelesaiannya. Jika sulit mahu mengambil wudhu’, ada kaedah-kaedahnya. Tetapi jika pakaian tidak bersih, memang susah mahu diselesaikan. Bayangkan, dalam kesesakan ratusan penumpang kapal terbang, si anak muda mahu menyalin seluar dengan memakai kain pelekat, mahu sahaja disikunya orang di kiri dan kanan.
Justeru, jika kita jenis orang yang bersolat kerana Islam, maka Islamlah semenjak di rumah dan di Lapangan Terbang. Jangan tiba-tiba mahu mengambil Islam, memang banyak ‘kerosakan’ yang terpaksa diuruskan!
Sama juga dengan perempuan. Andaikata solat itu hendak dikerjakan semasa berada di dalam pesawat, selain pakaian perlu bersih, pastikan juga ia sempurna menutup aurat. Andai pakaian yang dipakai itu tidak cukup syarat untuk membolehkan kita bersolat dengannya, memang sukar kalau tiba-tiba di dalam pesawat, mahu disarung telekung. Mahu terserkup orang di sebelah!
Demikianlah Islam.
PAKEJ
Di pangkal, di tengah atau di hujung, Islam ada caranya yang tersendiri untuk berfungsi. Tetapi sebagai sebuah sistem, Islam mesti diambil seawal langkah yang pertama.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam agama Islam (dengan mematuhi) SEGALA hukum-hukumnya; dan janganlah kamu menurut jejak langkah Syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh bagi kamu yang terang nyata” [al-Baqarah 2: 208]
Demikian Allah berpesan.
Apabila Islam diambil, ambillah ia secara sempurna. Pakej yang lengkap. Menerima sebahagian dan meninggalkan sebahagian yang lain, adalah cara Syaitan menyesatkan manusia, sedangkan Syaitan itu adalah musuh manusia yang amat nyata. Kelihatannya di sepanjang sejarah manusia, Syaitan itu makhluk yang sabarnya sering mengatasi manusia. Syaitan tidak tergesa-gesa untuk mencapai misinya. Segalanya berlaku secara berperingkat, sedikit demi sedikit, dalam kealpaan manusia yang tidak menyedarinya.
Itulah enjin di sebalik musibah buang bayi di negara kita.
Buang bayi kerana berleluasanya zina.
Berleluasanya zina kerana pencegahannya tidak mengambil acuan Islam.
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya ia adalah suatu kecelaan dan seburuk-buruk jalan pilihan manusia” [al-Israa' 17: 32]
Allah tahu, zina itu sedap dan nikmat. Menolaknya jika sekadar menolaknya, terlalu sukar. Justeru sama seperti maksiat-maksiat yang lain, Allah bantu kita untuk mengelaknya dengan menutup pintu-pintu kepada zina. Sesungguhnya menolak zina hanya menjadi realiti apabila MUQADDIMAH ZINA dilihat sebagai muqaddimah zina yang mesti dihindari.
Apakah muqaddimah zina yang mesti dicegah itu?
1. MENUNDUKKAN PANDANGAN
Tingkap itu yang mesti dipelihara. Jendela penglihatan yang turun ke hati dan kemaluan. Menundukkan pandangan itu bermaksud memelihara penglihatan daripada melihat perkara haram. Perkara yang merangsang libido dan mengundang diri kepada zina. Firman Allah Subhanahu wa Ta’aala:
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah amat mendalam pengetahuannya tentang apa yang mereka kerjakan.” [al-Nur 24: 30]
Wanita-wanita yang beriman itu juga diberikan saranan yang sama. Di dalam ayat yang menyusul perintah di atas, Allah memerintahkan kaum wanita seperti kaum lelaki, sama-sama memelihara pandangan daripada melihat apa yang tidak diharuskan baginya melihat.
“Alahai, takkanlah baru tengok sudah mahu berzina!” seorang manusia mahu berbijak-bijak berhujah dengan Tuhan.
Dia lupa, fitnah penglihatan dan zina bukan urusan rasional. Ia urusan nafsu dan kemaluan. Urusan hati yang membuat pertimbangan. Justeru itu Allah berpesan, “yang demikian itu lebih suci bagi mereka”. Muqaddimah zina ini bukan hanya urusan di peringkat individu. Ia bertujuan membentuk suasana yang sihat. Saling bekerjasama untuk mewujudkan suasana yang tidak mengundang zina.
2. MEMELIHARA AURAT
Menundukkan pandangan daripada perkara haram menjadi lebih mudah apabila perkara haram itu tercegah dalam daerah halalnya. Anggota tubuh yang perlu diberi perlindungan, adalah cara seseorang memuliakan dirinya sendiri dan menghormati orang lain yang bermata lagi berhati, juga bernafsu.
Peliharalah aurat.
Wanita.
Lelaki.
Sama sahaja.
“Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka…” [al-Nur 24: 31]
Perintahnya bukan perintah menutup rambut.
Perintahnya adalah perintah memelihara aurat.
3. TIDAK BERTABARRUJ JAHILIAH
Menutup aurat itu cara Allah mengajar kita membentuk diri. Biar dengan menutup aurat itu kita belajar menganut sifat malu, belajar mengenal batas-batas diri yang mewujudkan rasa berTuhan dalam kehidupan dengan batasan-batasan itu.
“Dan hendaklah kamu melazimkan diri berada di rumah kamu serta janganlah kamu mendedah, menghias dan menonjolkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah zaman dahulu”[Al-Ahzaab 33: 33]
“Saya sudah menutup aurat!” kata seorang perempuan yang bertudung.
Beliau terlepas pandang, tudungnya memang bertudung tetapi solekan di bibir dan kelopak matanya sangat keterlaluan, di dalam tudungnya ada bonggol sanggul yang sengaja ditolak ke atas meninggikan kepala, kakinya memakai rantai berloceng, hingga setiap inci tubuhnya menarik perhatian untuk dilihat dan direnung, biar pun beliau itu bertudung.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau meriwayatkan bahawa Rasulullah sallallaahu alayhi wa sallam telah bersabda :
Dua golongan yang termasuk dari kalangan ahli neraka yang tak pernah aku lihat iaitu yang pertama mereka yang memegang cemeti seperti ekor lembu (bentuk cemeti itu seperti ekor lembu yang berbulu-bulu dan berambut-rambut) dan mereka memukul manusia dengan cemeti tersebut. Yang kedua adalah perempuan memakai pakaian tetapi keadaanya umpama telanjang (ketat), dan perempuan ini berjalan sambil berlenggang lenggok dan sanggol rambutnya (ataupun sekarang ikatan rambutnya) umpama bonggol unta.Dan perempuan yang sebegini keadaanya tidak akan mencium bau syurga. Ketahuilah bau syurga sudah boleh diciumi dari jarak begini dan begini. [Hadith riwayat Muslim no. 2128]
Bertudung. Tetapi masih mahu menarik perhatian orang memandang dan membelek.
Justeru hilanglah hikmah memelihara aurat.
Biar pun rambut ditutup, dia masih kaya dengan elemen Jazb al-Intibah (menarik perhatian dan pandangan orang).
4. BERURUSAN DENGAN BATASAN
Bekerja, belajar, bermesyuarat, berjiran dan bermasyarakat, semuanya harus.
Namun keharusan itu harus dipandu oleh batasan.
Silang jantina perlu mengenal keperluan dan tujuan, jangan hanya berpandukan kemahuan.
“Dan apabila kamu meminta sesuatu yang harus diminta daripada mereka maka mintalah kepada mereka dengan perantaraan hijab. Cara yang demikian lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka”[al-Ahzaab 33: 53]
Sama ada hijab itu berupa tabir yang fizikal, atau sekurang-kurangnya mengekalkan batas pergaulan antara lelaki dan perempuan.
Bermesyuaratlah, tetapi biar seadanya.
“Hai, takkanlah sembang-sembang sudah terangsang?” hujah seorang bijak pandai di syarikat Multinasional.
“Cara yang demikian lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka” jawab Allah.
Dia yang memiliki hati. Dia tahu sifat baik dan buruk hatimu. Justeru nasihat-Nya tentang hati itulah nasihat terbaik untuk manusia yang mahu berhati-hati.
Lihatlah di pejabat, siapa di meja sebelah, siapa di kubikel depan, keluar makan tengah hari dengan siapa, dari Stesyen LRT ke pejabat tumpang kereta siapa, pergi ke site atau bertemu pelanggan naik kereta siapa, semua itulah yang perlu dipertimbangkan kembali, kerana melakukannya tanpa batasan adalah MUQADDIMAH ZINA.
5. TIDAK MELUNAKKAN SUARA
Dengar suara, mahu orangnya.
Itu akibat manusia-manusia yang hatinya berpenyakit.
Sakitnya pula letak di hati yang tidak kelihatan. Justeru jangan cari penyakit. Jangan lunakkan suara semasa berbicara. Bersahaja, sederhana, seperti biasa, jangan dimanja-manja, jangan mengada-ngada.
“Andaikata kamu benar-benar beriman, maka janganlah kamu lunak-lunakkan suara semasa berbicara. Nantinya orang-orang yang hatinya berpenyakit menjadi tamak. Justeru berbicaralah dengan perbicaraan yang maaruf” [al-Ahzaab 33: 32]
NORMALISASI MUQADDIMAH ZINA
Mencegah lebih baik daripada mengubat… bukan slogan tanpa asas!
Cabarannya, bagaimanakah penerimaan kita terhadap saranan-saranan Allah ini?
Percaya bahawa kita lebih bijak daripada-Nya?
Semua perintah dan larangan yang dihimpunkan itu tadi (sebagai memetik sebahagiannya) telah mengalami normalisasi. Semuanya sudah diterima sebagai satu cara hidup semasa.
“Make sure you balik before Midnite, ok. This is my house. You follow my rule!” kata si ayah yang ‘cool’.
Anak lelakinya keluar menonton wayang dengan rakan silang jantina.
Muqaddimah zina sudah jadi biasa. Sudah tidak lagi dianggap salah. Ia diterima sebagai satu cara hidup kontemporari, tidak hanya di kota malah di desa. Sudah jadi biasa. Lantas buruk benar kalau ia tiba-tiba digelar sebagai Muqaddimah Zina!
Itulah NORMALISASI…
“Alaa, she’s still young. Let her taste the excitement. Just be herself. Jangan hipokrit. Nanti bila nak pakai tudung tu, dia pakailah. Kita doakan!” kata si emak melihat anak perempuannya keluar rumah dengan penuh gaya.
Memaksa diri bertudung kerana di dunia ini ada Tuhan, namanya hipokrit?
Akhirnya, menutup pintu Muqaddimah Zina dianggap kolot.
Walhal itulah hidup bertamadun. Hidup yang tahu membataskan diri.
Bergaul sesuka hati, menyentuh sesedap rasa, menunggang tak kenal agama, itu Lifestyle rimba.
“Nampakkah kamu keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi.” [al-Furqan 25: 43-44]
Saksikanlah ya Allah bahawa aku berusaha menyampaikan!